KHUTBAH IDUL FITRI 1435 H / 2014 M:
KETAQWAAN SEBAGAI REFLEKSI KEMENANGAN SEJATI
DI HARI YANG FITRI
Oleh:
Nanang Masaudi
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ونعوذ
بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهدي الله فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له. أشهد أن لا اله الا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. اللهم صل وسلم على
نبينا محمد وعلى اله وأصحابه أجمعين. أما بعد فيا عباد الله أوصيكم ونفسي بتقوى
الله وطاعته لعلكم تفلحون.
الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, ولله الحمد
Puji
syukur layak terpanjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Agung, peguasa kerajaan
langit dan bumi yang tiada henti mencurahkan rahmat-Nya untuk kita sekalian.
Dia-lah yang telah menganugrahkan fajar cerah di pagi ini yang memancarkan
sinarnya menghampar ke segala penjuru bumi, sinar yang menghembuskan hawa
kebahagiaan hingga wajah-wajah kita terlihat begitu menawan dengan senyuman
kebahagiaan dan hati-hati kita terasa begitu damai dan tentram. Inilah dampak
kemenangan yang telah kita raih, kemenangan atas hawa nafsu dan kemenangan atas
iblis yang terkutuk serta bala tentaranya, namun di antara semua itu hikmah
dari kemenangan yang terpenting bagi kita adalah keberhasilan meraih pakaian
takwa yang menjadikan kita begitu mulia di sisi Allah SWT.
Idul
Fitri, inilah hari besar yang kita rayakan, inilah hari yang penuh cinta,
inilah hari yang telah sanggup menghalangi manusia dari berbagai perbuatan
mudhorot. Hari ini, tindak kriminalitas menurun secara drastis, perbuatan
maksiat dan fahisyah turun hingga ke titik nadir, hampir tak ada penjahat yang
ditangkap, pengadilan atas kejahatan terhenti untuk sejenak. Peperangan,
pembantaian, penindasan juga sirna untuk sebentar. Orientasi keduniaan kita
yang cenderung menghiasi kehidupan kita di ruang-ruang kerja, di kantor, di
tempat hiburan, di pusat-pusat perbelanjaan, di darat dan di lautan juga untuk
sementara waktu kita redam. Kebisingan kota, hilir mudik kenderaan di jalanan, keriuhan
di pasar-pasar dan mall-mall, juga kesibukan di perkantoran, di pabrik-pabrik untuk
sejenak juga lengang berganti dengan riuh suara takbir, tahmid dan tahlil.
الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر,
ولله الحمد
Di
hari yang penuh berkah ini, dunia dipenuhi kedamaian dalam indahnya nuansa
silaturrahim. Saling berbagi dan saling menyapa menghias di tengah gema takbir,
tahmid dan tahlil yang terus berkumandang. Itulah pekik kemenangan kita setelah
berpuasa sebulan penuh, tidak hanya sekedar kemenangan fisik belaka dengan
sekedar mengalahkan hawa nafsu perut kita dan hawa nafsu seksual kita, akan
tetapi lebih dari itu kita telah berhasil memenangkan orientasi atau tujuan
ukhrowi kita atas syahwat duniawi kita.
Jama’ah ‘Ied
rahimakumullah ...,
Sebagai
orang beriman tentu kita memahami bahwa segala anugerah dan nikmat batin yang
kita rasakan di hari raya ini tidak terjadi begitu saja. Allah SWT jualah yang
telah menghendaki kemenangan ini, Dia yang telah menghendaki hadirnya rasa
bahagia di hati ini, Dia yang telah menghendaki kelapangan di dada ini hingga
kita menjadi begitu pemurah dan mudah memaafkan kesalahan orang, Dia pulalah
yang menghendaki hadirnya rasa haru di hati kita tatkala membayangkan
wajah-wajah orang yang kita kasihi tidak lagi bersama kita di hari yang penuh
bahagia ini. Bagi sanak famili yang jauh, alhamdulillaah dengan kecanggihan
alat komunikasi di era modern ini kita dapat berkomunikasi dengan orang-orang
tercinta kita dengan erat walau tangan ini tak sanggup untuk terjabat. Namun
bagi orang-orang terkasih yang telah mendahului kita maka apalah daya, hanya
doa yang dapat kita panjatkan sebagai bentuk salam kerinduan kita untuk mereka
yang dulu pernah kita kecup tangannya yang terbalut keriput, dan dulu pernah
kita peluk erat tubuhnya yang telah tua renta. Kini kebersamaan itu tiada lagi,
sosok orang-orang yang kita kasihi itu kini terkulai dibawah seonggok tanah
berbatu nisan, makamnya yang belum tentu dapat kita ziarahi setiap saat. Semoga
Allah merahmati mereka yang telah mendahului kita.
الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر,
ولله الحمد
Jama’ah ‘ied
rahimakumullaah,
Marilah kita merefleksi dan
merenungkan sejenak kemenangan dari hasil perjuangan kita yang dianugerahkan
Allah SWT melalui Ramadhan-Nya yang insya Allah sanggup kita pertahankan dalam
keseharian hidup sebagai ciri ketaqwaan kita. Di antara kemenangan itu adalah:
·
Kemurahan Hati Kita yang Mengalahkan Sifat Kikir dan Tamak
Ketamakan dan kekikiran adalah adalah
sisi buruk dari perilaku manusia yang mendatangkan mudhorot. Inilah sumber malapetaka
sosial yang melanda ummat negeri ini. Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan
sosial yang melanda negeri ini telah memporak-porandakan pranata sosial di
tengah-tengah masyarakat. Jurang pemisah antara kaya dan miskin, pejabat dan
rakyat, ulama dan ummatnya semakin terasa begitu menganga. Ditengah maraknya
kemewahan yang dipertontonkan oleh kalangan elit yang semakin matrealistik diatas
negeri yang bertebaran 60 juta orang miskin ini sangat mungkin menimbulkan
‘kekecewaan sosial’ dan melahirkan ‘kemarahan massal’ dari mereka secara
langsung ataupun tidak menjadi korban ketamakan dan kebakhilan kalangan elit di
negeri ini.
Ramadhan telah mengantarkan manusia
lebih dekat kepada nilai-nilai kemanusiaannya. Membangun kecintaan kepada
sesama manusia, menebarkan kasih sayang, silaturrahim, serta menebar kemurahan
hati akan menciptakan pranata sosial yang bersahaja karena akan terjadi harmoni
yang indah antara semua elemen dalam masyarakat; antara kaya dan miskin,
konglomerat dan kaum melarat, pejabat dan rakyat jelata, pemimpin dan bawahan,
ulama dan ummat dan seterusnya. Di bulan Ramadhan kepekaan sosial kita terasah.
Dengan puasa, kita terlatih untuk melakukan pengorbanan dan bermurah hati.
Dr. Carl, seorang psikoanalis
mengatakan, “untuk mencapai peningkatan yang simultan dan menyeluruh harus
diikuti dengan pengorbanan dan ketulusan. Kemurnian jiwa hanya dapat dicapai
dengan mengorbankan materi dan popularitas. Pengorbanan diri adalah kebiasaan
orang-orang yang memahami keadilan dan kebenaran iman kepada Allah. Orang yang
mengorbankan jiwa mereka untuk keadilan, cinta dan keharmonisan telah mampu
mengawinkan antara akal, cinta serta kasih sayang. Pada keadaan inilah manusia
akan mencapai puncak mega keindahan, cahaya kebenaran dan keadilan.” Mungkin
inilah yang sering kita anggap dengan kepuasan batin yang tak dapat dinilai
dengan harta.
Rasulullah SAW bersabda: “ Orang yang
murah hati dan berakhlak baik selalu berada di bawah lindungan Allah. Allah
selalu dekat dengan mereka dan akan membimbing mereka menuju kebahagiaan .
Tidak ada seorang yang adil yang tidak memiliki sifat pemurah dan kasih
sayang”.
Mari kita renungkan sebuah kisah
bagaimana ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a telah mengajarkan kemurahan
hati pada keluarganya yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a, bahwa pada
suatu ketika kedua putra Ali bin Abi Thalib , Hasan dan Husain sedang sakit
parah, maka Ali dan isterinya Fathimah binti Rasulullah bernazar apabila kedua
putera mereka sembuh maka mereka akan berpuasa 3 hari sebagai tanda syukur.
Atas karunia Allah SWT kedua anak merekapun sembuh. Keduanyapun mulai berpuasa
nazar. Akan tetapi mereka tidak memiliki sesuatu walau sekedar untuk makan
sahur dan berbuka. Mereka berpuasa dalam keadaan sangat lapar. Pada pagi
harinya, Ali pergi kepada seorang Yahudi bernama Syam’un. Ali kemudian berkata
kepadanya : ‘Jika engkau ingin menyuruh seseorang untuk memintal wol dengan
imbalan, maka istriku bersedia melakukannya’. Orang Yahudi itu menyetujui
dengan kesepakatan satu gulung wol dihargai tiga sha’ gandum. Pada hari
pertama, Fathimah memintal sepertiga bagian wol, kemudian ditukarkan dengan 1
sha’ gandum, lalu ditumbuk dan dimasaknya menjadi 5 potong roti kering, yakni
untuk Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan seorang hamba sahaya perempuannya
bernama Fidhdhah. Ketika waktu berbuka puasa tiba. Ali baru saja kembali dari
sholat maghrib berjamaah dengan Rasulullah. Fathimah pun dalam keadaan letih
setelah bekerja seharian penuh kemudian menyiapkan hidangan untuk keluarganya,
tikar alas makan telah dibentangkan, diatasnya telah disiapkan roti dan air.
Ali mengambil roti bagiannya, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara seorang
fakir dari balik pintu rumah sederhana mereka yang mengharap belas kasih agar
diberi makanan, ‘ Wahai keluarga Muhammad, aku seorang fakir, berilah makanan
kepadaku, semoga Allah SWT memberimu makan dari makanan syurga’. Ali kemudian
mendatangi pengemis itu dan memberikan roti keringnya. Seluruh keluarganya juga
tak tinggal diam, mereka juga memberikan roti mereka. Ali memberitahukan bahwa
dia telah memberikan rotinya kepada pengemis itu. Namun mereka menjawabnya, ‘kami
juga ingin memperoleh kehormatan di sisi Allah seperti engkau, biarkanlah kami
memberikan milik kami’. Akhirnya merekapun hanya berbuka dengan segelas air
pada hari itu. Allah menguji mereka dengan keadaan itu selama tiga hari, dengan
berturut-turut didatangi oleh anak yatim dan seorang tawanan dan merekapun
melakukan hal yang sama.
Pada hari ke empat mereka memang
tidak berpuasa, tetapi apalah juga yang mau dimakan. Hari itu tak ada makanan
apapun di rumah mereka. Ali r.a kemudian membawa kedua anaknya Hasan dan Husain
sambil berjalan tertatih-tatih karena menahan lapar mengunjungi Rasulullah SAW
sekedar untuk menghibur hati. Rasulullah SAW kemudian bersabda: ‘Sungguh
menyedihkan hatiku melihat kalian menderita kekurangan dan kesengsaraan. Mari
kita temui Fathimah’. Rasulullah SAW menemui puterinya Fathimah yang dilihatnya
sedang mengerjakan sholat nafil. Mata Fathimah terlihat cekung. Perutnya
tertarik sampai menempel ke punggung karena sangat lapar. Rasulullah SAW
kemudian memeluk puterinya dengan penuh kasih sayang dan mendoakan rahmat Allah
baginya dan keluarganya. Pada saat itulah malaikat Jibril a.s mendatangi
Rasulullah SAW untuk menyampaikan kabar dan wahyu.
Kejadian itu telah menggetarkan ‘Arsy
Allah karena para Malaikat bertasbih memuji perilaku keluarga yang mulia itu.
Kisah inilah yang menjadi asbab nuzulnya Surat al-Insan, dimana pada ayat ke-8
dan 9 Allah SWT berfirman :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا
وَأَسِيرًا . إِنَّمَا
نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلا شُكُورً
“Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan : 8 – 9)
·
Keikhlasan Kita yang Mengalahkan Sifat Riya
Mukhlisin
adalah golongan orang-orang yang Allah SWT begitu ridho dengan mereka. Namun
seikhlas-ikhlasnya dalam setiap amal tidak boleh sedikitpun merasa aman dari
penyakit riya.Disinilah peran kesabaran dalam ketaatan menjalankan perintah
Allah SWT. Kesabaran adalah proses puncak menuju maqom mukhlisin. Puasa mengajarkan
kita tentang bagaimana sebuah amal yang kita kerjakan hanya diketahui oleh
Allah SWT. Keadaan kita berpuasa atau keadaan tidak berpuasa menjadi rahasia
antara kita dengan Allah semata. Inilah hikmah penting ibadah puasa kita.
Melalui puasa sebulan penuh Allah men-tarbiyah kita untuk belajar meluruskan
niat beramal agar tak tersusupi oleh sifat riya, ujub dan sum’ah. Riya menjadi
penyebab rusaknya amal seseorang hingga tidak bernilai sama sekali disisi Allah
SWT. Bahkan Rasulullah SAW menyampaikan kekhawatirannya di depan para sahabat
utamanya, “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik
kecil, maka para sahabat bertanya: ‘apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?’.
Beliaupun bersabda: ‘Syirik kecil itu adalah riya’. Pada hari kiamat ketika manusia
dibalas dengan amal perbuatannya maka Allah akan berkata kepada orang-orang
yang berbuat riya: ‘pergilah kalian kepada apa-apa yang kalian berbuat riya’,
maka lihatlah apakah kalian mendapat balasan dari mereka”. (HR. Ahmad).
Tak ada seorangpun yang dapat merasa
aman dari perbuatan syirik kecil ini bahkan para sahabat utama sekalipun
seperti Abu Bakar dan Umar bin Khatthab tidak merasa aman darinya apalagi kita
yang banyak disibukkan oleh perkara-perkara dunia.
Penyakit riya amatlah berbahaya
karena ia menjangkiti seseorang bukan dalam keadaan seseorang bermaksiat tetapi
justeru ketika seseorang beramal sholeh. Selain itu bila seorang yang beriman
dalam amal sholehnya ternodai oleh sifat riya, berarti terdapat dalam
dirinya satu bagian dari sifat-sifat
kaum munafiqun.
Allah SWT berfirman :
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا
يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila mereka (kaum munafiq)
berdiri mengerjakan sholat, maka mereka berdiri dalam keadaan malas dan riya di
hadapan manusia dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali”.
(QS. An-Nisaa’: 142)
Puasa adalah ibadah sirriyyah
(tersembunyi) antara hamba dengan Kholiqnya. Di sinilah kita diajarkan untuk
mengalahkan sifat riya. Berbeda dengan sholat yang dapat terlihat dari
gerakannya, zakat yang nampak dari pemberiannya, dan haji yang nampak dari
manasiknya. Banyak dari kalangan ahli ibadah ketika amal-amal kebajikannya
ditimbang justeru sama sekali tidak membuat mizan itu bergerak. Hal ini
dikarenakan amal-amalnya tersebut ternodai oleh sifat riya.
Perbaikilah selalu niat kita dalam
beramal, landasilah dengan keikhlasan. Bila terbersit riya di dalam hati maka
lawanlah dan jangan menunda amal, karena yakinlah itu adalah godaan syaithon
yang meniupkan was-was di dalam hati kita. Pandanglah kecil amal kita dan
jangan terjerumus pada kebanggaan terhadap amal.
Firman Allah SWT:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus...” (QS. Al-Bayyinah: 5)
·
Pengendalian Diri Kita yang Mengalahkan Sifat Menuruti
Hawa Nafsu
Bulan Ramadhan yang telah berlalu
telah memberikan latihan berharga terhadap seluruh unsur dalam diri kita. Unsur
fikroh, jasad, ruh, hati dan harta kita telah kita arahkan menuju kemaslahatan
bagi diri kita dan orang lain. Ramadhan telah memberikan banyak ajaran berupa batasan
dan rambu-rambu bagi orang yang menjalankan ibadah puasa. Disinilah peran
kesabaran kita dalam menahan diri dari perbuatan melanggar larangan Allah. Bagi
orang yang berpuasa maka tantangan terberat yang dihadapi adalah dorongan untuk
memenuhi keinginan hawa nafsunya. Namun, karena ketabahan dan kesungguhan kita
dalam menjalankan ibadah shaum maka kita dapat mengendalikan
keinginan-keinginan hawa nafsu itu. Kegigihan kita dalam menahan pandangan dari
perkara-perkara yang diharamkan, keseriusan kita dalam menjaga lisan dari
perkataan-perkataan buruk, kehati-hatian kita dalam menghindarkan perut kita
dari masuknya makanan-makanan syubhat dan haram, kesungguhan kita membersihkan
pikiran dan hati dari prasangka buruk, sifat iri, dengki, dendam, amarah dan
kesombongan, ketaatan dalam menjaga kemaluan kita dari hal-hal yang diharamkan,
tidak mengumpulkan dan membelanjakan harta pada perkara-perkara yang dilarang
oleh agama, mengendalikan tangan dan kaki kita agar tidak menyentuh atau melangkah
ke tempat-tempat yang mengandung maksiat, serta menutup pendengaran kita dari
ghibah dan perkataan-perkataan jelek dan mengandung cela. Maka ketika semua itu
dapat kita kendalikan, barulah kita bisa merasakan manisnya iman. Inilah yang
menjadi sebab datangnya hidayah dan taufik Allah SWT kepada kita. Amalan ibadah
puasa kita telah membuat hawa nafsu kita lebih stabil dan terkendali. Kita
berharap semoga semua anggota tubuh yang telah kita kendalikan itu akan menjadi
saksi yang akan membela kita di hadapan pengadilan Qodhi Robbul Jalil.
Ingatlah firman Allah
SWT:
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ
وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi
saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” QS. An Nur:
24.
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ
وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا
يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu sekali-sekali
tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu
kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa
yang kamu kerjakan”. (QS. Fushshilat
Ayat: 22)
Inilah
tiga hal diantara sekian banyak kemenangan yang telah kita capai di bulan
Ramadhan dengan sebuah harapan semoga Allah memberi kemudahan untuk kita
mempertahankannya di hari-hari selanjutnya. Tiga kemenangan yang akan
senantiasa menyuplai energi amal bagi hadirnya cinta dan harmoni antara miskin
dan kaya, atasan dan bawahan, orang tua dan anak, suami dan isteri dan di
antara seluruh komponen bangsa dan ummat ini. Kini kita telah kembali fithrah,
jangan nodai ke-fithrah-an ini hingga membuat kemenangan idul fithri ini
menjadi sia-sia. Kita senantiasa berlindung kepada Allah dan memohon ampun
kepadanya atas segala dosa dan kekhilafan yang kita lakukan.
Demikianlah
khutbah ini jama’ah sekalian, semoga ini menjadi bahan renungan bagi kita
semuanya dan menjadikan kita semakin yakin dan percaya diri untuk menjadi
manusia paripurna atau insan kamil dengan kemenangan ini.
Ja’alanallaahu
wa iyyaakum minal ‘aa’idiina wal
faa’iziin. Taqobbalallahu minna wa minkum. Wassalaamu ‘alaikum wr. Wb.